Beranda Nasional Politik & Kebijakan Menyoal Secara Kritis dan Argumentatif Alasan Pemakzulan Gibran Rakabuming Raka

Menyoal Secara Kritis dan Argumentatif Alasan Pemakzulan Gibran Rakabuming Raka

12
Maka, pertanyaan utama saat ini bukan hanya “dapatkah Gibran dimakzulkan?”, tetapi “beranikah bangsa ini menegakkan kembali etika konstitusi di atas ambisi dinasti dan politik kekuasaan?”

Bandung, DetikHukum | Wacana pemakzulan terhadap Gibran Rakabuming Raka sebagai Wakil Presiden Republik Indonesia mengemuka bukan tanpa alasan. Dalam sistem demokrasi yang sehat, pemakzulan merupakan mekanisme konstitusional yang sah untuk memastikan pejabat negara tetap berada dalam koridor hukum, etika publik, dan tanggung jawab konstitusional. Dalam hal ini, sejumlah akademisi, praktisi hukum, dan masyarakat sipil mempertanyakan secara serius legitimasi dan moralitas proses pencalonan Gibran dalam Pemilu 2024.

Dasar paling mencolok dari kritik publik adalah Putusan Mahkamah Konstitusi No. 90/PUU-XXI/2023, yang secara eksplisit membuka jalan bagi Gibran untuk mencalonkan diri sebagai cawapres. Putusan ini mengubah syarat usia minimum calon presiden dan wakil presiden, dan dianggap sarat konflik kepentingan karena melibatkan Ketua MK saat itu, Anwar Usman, yang juga merupakan paman Gibran. Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) menyatakan Anwar Usman terbukti melanggar etik berat dan memberhentikannya dari jabatan ketua MK. Namun, putusan yang lahir dari proses cacat etik itu tetap diberlakukan, menghasilkan legitimasi yang cacat secara moral dan politis.

Di sinilah pentingnya seruan “Menolak Lupa” atas asal-usul putusan tersebut. Masyarakat tidak boleh melupakan bahwa hukum telah dijadikan alat akomodasi politik keluarga penguasa. Ketika lembaga penjaga konstitusi justru menjadi instrumen rekayasa kekuasaan, maka yang runtuh bukan hanya norma hukum, tetapi juga kepercayaan publik terhadap demokrasi itu sendiri.

Lebih dari itu, publik juga harus Menolak Lupa terhadap praktik “cawe-cawe” Presiden Joko Widodo dalam Pemilu 2024. Presiden yang seharusnya menjaga netralitas justru menunjukkan keterlibatan aktif dan sistematis dalam upaya memenangkan pasangan tertentu, khususnya anak kandungnya sendiri. Dukungan politik, penggunaan pengaruh struktural, hingga komunikasi politik terbuka yang menunjukkan keberpihakan adalah bentuk intervensi kekuasaan yang melanggar etika jabatan. Proses pencalonan Gibran bukanlah hasil kompetisi terbuka yang sehat, melainkan produk rekayasa politik yang dibungkus oleh legalitas semu.

Kecurigaan publik semakin menguat ketika menjelang Pemilu 2024, pemerintah mengguyur anggaran negara dalam bentuk bantuan sosial (bansos) senilai ratusan triliun rupiah. Penyaluran bansos dalam skala besar dan waktu yang strategis memunculkan dugaan kuat bahwa program tersebut digunakan sebagai instrumen kampanye terselubung. Bukannya menjadi instrumen kesejahteraan, bansos justru berubah menjadi alat politik elektoral untuk mengarahkan dukungan rakyat kepada pasangan yang diuntungkan kekuasaan. Ini adalah bentuk manipulasi kesejahteraan yang mengkhianati esensi keadilan sosial.

Tak berhenti di situ, berbagai indikasi menyebutkan bahwa Presiden Jokowi juga menggunakan pendekatan politik premanisme kekuasaan, melalui penyalahgunaan instrumen hukum untuk menyandera pimpinan partai politik maupun tokoh potensial yang dianggap sebagai pesaing Gibran. Sprindik (Surat Perintah Penyidikan) diduga dijadikan alat tekan untuk “memundurkan” atau melemahkan figur-figur alternatif yang sempat muncul sebagai kandidat cawapres. Aparat hukum, alih-alih menjadi penjaga keadilan, justru digunakan sebagai alat kompromi dan ancaman. Ini bukan saja mencederai prinsip negara hukum, tetapi juga menempatkan demokrasi dalam ancaman otoritarianisme terselubung.

Lebih mengkhawatirkan lagi, pola kekuasaan ini ternyata sudah disiapkan jauh sebelum masa pencalonan. Di periode kedua pemerintahannya, Presiden Jokowi tampak melakukan pembiaran sistematis terhadap praktik korupsi di lingkungan kabinet dan elit partai politik. Dugaan ini berangkat dari kenyataan bahwa banyak pejabat di lingkar kekuasaan diduga terlibat praktik koruptif tanpa ada langkah penindakan yang signifikan. Banyak kalangan menilai bahwa pembiaran ini merupakan strategi jangka panjang untuk menciptakan alat sandera politik—di mana dosa-dosa hukum para elit dijadikan bahan tawar-menawar, baik untuk mengamankan pencalonan Gibran maupun menjaga pengaruh politik pasca kepresidenannya. Ini adalah bentuk politik transaksional tingkat tinggi, di mana kontrol tidak dibangun melalui nilai dan gagasan, melainkan melalui ketakutan dan utang budi.

Dalam konteks inilah wacana pemakzulan terhadap Gibran harus dibaca, bukan sebagai ekspresi kebencian politik, melainkan sebagai mekanisme korektif terhadap pembusukan sistemik demokrasi Indonesia. UUD 1945 Pasal 7A dengan tegas mengatur bahwa presiden dan/atau wakil presiden dapat diberhentikan jika terbukti melakukan pelanggaran hukum, pengkhianatan terhadap negara, atau perbuatan tercela. Maka, apabila proses pencalonan dan keterlibatan Gibran dalam pengaturan kekuasaan dinilai mengandung unsur pelanggaran etika konstitusional dan rekayasa politik sistemik, maka wacana pemakzulan adalah langkah sah dan perlu dikaji serius.

Menyoal Gibran secara kritis bukan berarti memusuhi pribadi, melainkan menjaga marwah demokrasi dari infiltrasi kekuasaan yang mencederai hukum dan keadilan. Dalam negara hukum, semua warga negara—termasuk keluarga presiden—harus tunduk pada prinsip akuntabilitas publik. Pemakzulan bukanlah akhir demokrasi, melainkan bentuk tertinggi keberanian untuk menyelamatkan konstitusi dari kerusakan sistematis. Maka, pertanyaan utama saat ini bukan hanya “dapatkah Gibran dimakzulkan?”, tetapi “beranikah bangsa ini menegakkan kembali etika konstitusi di atas ambisi dinasti dan politik kekuasaan?”
(selanjutnya tulisan ini akan di breakdown dalam 4 seri yang lebih detail).

Bandung, 6 Juni 2025
Oleh : Bernard Simamora, S.Si., S.IP., S.H., M.H., M.M.; Advokat & Konsultan Hukum, Pemerhati Hukum dan Politik, pelaku Wirausaha UKM dan Pegiat Pendidikan.