
Dari Etika ke Kekuasaan – Skandal Putusan MK No. 90/PUU-XXI/2023.
Bandung, DetikHukum | Bagian ini terutama tentang aspek: 1. Kronologi hukum dan etika secara lebih detail, 2. Pemaparan konflik kepentingan sebagai bentuk pelanggaran berat konstitusi,3. Kritik normatif terhadap diamnya lembaga negara lain, dan 4. Penekanan ancaman terhadap demokrasi substantif.
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 90/PUU-XXI/2023 adalah luka terbuka dalam sejarah demokrasi Indonesia. Di permukaannya, putusan ini tampak sebagai hasil dari uji materi norma usia minimum calon presiden dan wakil presiden. Namun di balik teks yuridis itu tersembunyi satu kenyataan pahit: konstitusi telah dibengkokkan demi membuka jalan politik bagi seorang anak presiden, Gibran Rakabuming Raka, untuk melenggang ke panggung kekuasaan nasional.
Sebelum putusan ini lahir, Pasal 169 huruf q Undang-Undang Pemilu secara tegas mensyaratkan usia minimal 40 tahun bagi calon presiden dan wakil presiden. Namun Mahkamah Konstitusi secara tiba-tiba menambahkan norma baru: usia minimal tidak berlaku bagi seseorang yang “pernah atau sedang menjabat sebagai kepala daerah yang dipilih melalui pemilihan.” Celah inilah yang digunakan untuk meloloskan Gibran—walikota Surakarta yang baru berusia 36 tahun saat pencalonan.
Yang membuat putusan ini menjadi skandal adalah fakta bahwa Ketua MK kala itu, Anwar Usman, adalah paman kandung Gibran. Ia tidak mengundurkan diri dari pemeriksaan dan pengambilan keputusan, bahkan terlibat aktif dalam sidang pleno yang memutus perkara tersebut. Tindakan ini melanggar prinsip dasar peradilan: imparsialitas dan bebas dari konflik kepentingan. Lebih parah lagi, Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) menyatakan Anwar Usman terbukti melakukan pelanggaran etik berat, melanggar prinsip ketidakberpihakan, dan menjatuhkannya sanksi: dicopot dari jabatan Ketua MK.
Namun yang paling tragis: putusan MK yang cacat etik itu tidak dibatalkan. Ia tetap menjadi hukum positif yang mengikat, dan menjadi dasar formal pencalonan Gibran sebagai wakil presiden. Dalam konteks inilah, kita harus berseru bersama: “Menolak Lupa!”
Jangan biarkan sejarah direkayasa seolah semuanya konstitusional. Keputusan yang lahir dari pelanggaran etik berat adalah keputusan yang tak bermoral. Ketika lembaga seagung Mahkamah Konstitusi—penjaga terakhir konstitusi—tersandera oleh kepentingan keluarga penguasa, maka yang runtuh bukan hanya bangunan hukum, tetapi kepercayaan rakyat atas demokrasi itu sendiri.
Putusan MK No. 90 tidak berdiri sendiri. Ia menjadi bagian dari pola besar konsolidasi kekuasaan di lingkaran keluarga Presiden Jokowi. Dengan menciptakan celah hukum yang sangat spesifik—dan hanya relevan bagi satu orang—putusan ini menjadi preseden buruk dalam sejarah konstitusional Indonesia: hukum ditulis bukan untuk kepentingan umum, tetapi untuk melayani ambisi pribadi.
Lebih ironis lagi, lembaga-lembaga negara lainnya diam. DPR, KPU, dan Presiden sendiri tidak melakukan koreksi apapun, bahkan turut merestui langkah lanjutan pencalonan Gibran. Publik dibiarkan menghadapi fakta bahwa pelanggaran etika justru melahirkan jabatan negara, dan lembaga-lembaga pengawas enggan menegakkan prinsip dasar demokrasi: keadilan prosedural.
Maka, menyoal pemakzulan Gibran bukanlah ekspresi kebencian personal, melainkan kebutuhan konstitusional untuk mengoreksi pelanggaran mendasar terhadap moralitas publik dan etika jabatan. Pertanyaannya bukan semata “apakah Gibran sah menurut hukum?”, tetapi “apakah ia layak secara moral dan etis untuk menduduki posisi wakil presiden?”
Demokrasi tidak hanya menuntut legalitas—ia menuntut legitimasi. Dan legitimasi sejati tidak lahir dari manipulasi hukum, melainkan dari proses yang adil, etis, dan menghormati prinsip dasar keadaban bernegara.
Bandung, 6 Juni 2025
Oleh : Bernard Simamora, S.Si., S.IP., S.H., M.H., M.M.; Advokat & Konsultan Hukum, Pemerhati Hukum dan Politik, pelaku Wirausaha UKM dan Pegiat Pendidikan.