
Bansos Demi Dinasti: Ketika Uang Rakyat Digunakan untuk Menangkan Anak Presiden.

Bandung, DetikHukum | Jika demokrasi adalah ruang rasional bagi rakyat untuk menentukan masa depan bangsanya, maka Pemilu 2024 patut dikenang sebagai titik balik kegelapan, ketika kesejahteraan dijadikan alat kekuasaan, dan bantuan sosial (bansos) ditukar dengan suara. Di bawah kendali Presiden Joko Widodo, negara menggelontorkan bansos dalam jumlah yang sangat besar—lebih dari Rp476 triliun—dalam waktu yang sangat dekat dengan pelaksanaan pemilu. Ironisnya, pembagian bantuan tersebut dilakukan di tengah keterpurukan fiskal, meningkatnya utang negara, dan memburuknya kualitas demokrasi.
Tidak dapat dipungkiri bahwa bansos adalah hak konstitusional warga miskin. Namun ketika ia diberikan secara masif menjelang hari pemungutan suara, disertai narasi yang mengaitkan bantuan dengan figur politik tertentu—khususnya Gibran Rakabuming Raka—maka bansos berubah menjadi alat kampanye terselubung. Presiden Jokowi bahkan tampil langsung dalam berbagai pembagian bansos, sembari melontarkan pernyataan politis yang menyiratkan arah dukungan kepada pasangan calon yang diuntungkan. Inilah bentuk politik uang gaya baru—bukan dalam bentuk amplop, tetapi dalam kemasan program negara.
Dalam praktik ini, demokrasi Indonesia dikhianati dari dalam. Rakyat, khususnya masyarakat miskin, dipaksa secara halus untuk “membalas budi” kepada pemberi bantuan. Dalam atmosfer ketergantungan, rasionalitas digantikan rasa takut kehilangan, dan pilihan politik berubah menjadi bentuk balas jasa. Padahal esensi demokrasi adalah pilihan yang bebas, otonom, dan didasarkan pada pertimbangan moral serta visi kebangsaan—bukan karena beras kiloan, BLT tunai, atau paket sembako.
Secara hukum, praktik ini mengandung pelanggaran serius. Pasal 282 dan Pasal 283 Undang-Undang Pemilu jelas melarang pejabat negara mengambil tindakan yang menguntungkan salah satu peserta pemilu. Presiden, sebagai pemegang kekuasaan pemerintahan, seharusnya menjaga netralitas dan tidak menjadikan kebijakan publik sebagai kendaraan elektoral. Namun Jokowi, alih-alih mematuhi prinsip itu, justru menormalkan tindakannya dengan dalih bahwa ia “tidak menggunakan fasilitas negara”. Ini adalah pembelaan yang menyesatkan, karena sejatinya jabatan presiden itu sendiri adalah fasilitas kekuasaan tertinggi.
Lebih dari sekadar pelanggaran etika, kebijakan bansos yang dibungkus kepentingan elektoral ini juga menimbulkan dampak fiskal yang serius. Bansos dalam jumlah raksasa tersebut sebagian besar didanai melalui pembiayaan utang. Surat Utang Negara (SUN), SBN, dan pembiayaan defisit lainnya diterbitkan untuk menutup pemborosan politik menjelang pemilu. Akibatnya, utang negara melonjak drastis, dan beban pembayarannya diwariskan kepada generasi penerus—sebuah bentuk perampasan masa depan rakyat oleh segelintir elite yang sedang ingin mengukuhkan warisan kekuasaan.
Secara konstitusional, Presiden Joko Widodo memegang tanggung jawab penuh atas kebijakan keuangan negara. Pasal 8 ayat (1) Undang-Undang Keuangan Negara dan Pasal 17 UUD 1945 menegaskan bahwa kendali fiskal berada di tangan presiden. Maka tak bisa dipungkiri: jika lonjakan utang terjadi akibat pemborosan bansos yang digunakan untuk memenangkan anaknya sendiri, maka Presiden Jokowi adalah pihak yang harus dimintai pertanggungjawaban secara hukum, etika, dan politik.
Lebih jauh, ini bukan hanya soal anggaran dan utang. Ini soal prinsip. Soal bagaimana negara menggunakan kemiskinan untuk mengamankan kekuasaan. Soal bagaimana sistem republik diselewengkan menjadi alat dinasti. Jika bantuan sosial digunakan bukan untuk keadilan, melainkan untuk membeli loyalitas, maka negara telah kehilangan watak konstitusionalnya.
Maka wacana pemakzulan Gibran tidak dapat dipisahkan dari konteks besar ini. Ia adalah produk dari rekayasa hukum, penyalahgunaan kebijakan sosial, dan eksploitasi APBN demi kelangsungan dinasti politik. Tidak cukup hanya menyebut ini sebagai politik populis—ini adalah manipulasi kekuasaan dengan menggunakan uang negara, dibiayai oleh utang publik, untuk mempertahankan kuasa pribadi.
Rakyat harus tahu: bansos yang mereka terima hari ini adalah utang yang mereka, anak cucu mereka, akan bayar kelak. Dan jabatan yang lahir dari politik semacam ini bukan hanya tidak sah secara etis, tetapi harus dikoreksi secara hukum dan demokratis.
Bandung, 6 Juni 2025
Oleh : Bernard Simamora, S.Si., S.IP., S.H., M.H., M.M.; Advokat & Konsultan Hukum, Pemerhati Hukum dan Politik, pelaku Wirausaha UKM dan Pegiat Pendidikan.