Dalam sistem hukum negara demokratis yang menjunjung supremasi sipil, keberadaan militer di luar tugas pertahanan kerap menimbulkan pertanyaan kritis. Salah satu kasus yang menarik perhatian adalah ketika seorang perwira hukum aktif dari TNI Angkatan Udara—meskipun bukan sebagai kuasa hukum litigasi—terlibat langsung dalam aktivitas advokatif dalam sengketa pertanahan antara warga masyarakat sipil. Keterlibatannya meliputi pendampingan dalam proses administratif, penandatanganan surat kuasa non-litigasi, serta penggunaan atribut atau jabatan militer dalam menyuarakan kepentingan salah satu pihak.
Secara normatif, perwira hukum TNI merupakan bagian dari struktur militer yang bertugas menangani perkara hukum internal dan membina ketertiban hukum di lingkungan TNI. Fungsi ini tidak termasuk memberikan bantuan hukum atau bertindak mewakili pihak sipil dalam konflik keperdataan, apalagi dalam persoalan yang berpotensi memantik konflik horizontal seperti sengketa tanah. Ketika seorang perwira hukum aktif tiba-tiba hadir sebagai pembela kepentingan salah satu pihak dalam konflik tanah, publik berhak bertanya: di mana batas antara tugas institusional dan kepentingan pribadi?
Keterlibatan non-litigasi seperti penandatanganan surat kuasa, penyusunan draf surat advokasi, atau bahkan sekadar memberikan pendampingan hukum dalam forum-forum sipil sudah cukup menimbulkan polemik. Apalagi jika disertai dengan penggunaan nama jabatan militer, lambang TNI AU, atau relasi kekuasaan militer yang secara implisit menghadirkan tekanan psikologis. Dalam konteks hukum disiplin militer, tindakan semacam ini berpotensi melanggar prinsip netralitas TNI sebagaimana diatur dalam Pasal 39 UU Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI, yang menyatakan bahwa prajurit aktif tidak boleh melakukan kegiatan bisnis, politik, atau advokasi hukum di luar tugas negara.
Jika hal ini benar terjadi, maka terdapat konsekuensi hukum dan disiplin yang serius. Dari sisi disiplin militer, berdasarkan PP Nomor 2 Tahun 2003 tentang Peraturan Disiplin Prajurit TNI, perwira aktif yang melibatkan diri dalam urusan sipil tanpa penugasan resmi dapat dikenai sanksi seperti teguran, penundaan kenaikan pangkat, atau bahkan hukuman disiplin berupa penahanan militer. Jika disertai penyalahgunaan jabatan atau pengaruh militer, maka bisa dikenakan sanksi pidana militer sebagaimana diatur dalam KUHPM—termasuk Pasal 126 tentang penyalahgunaan wewenang dan Pasal 103 tentang pelanggaran terhadap perintah kedinasan.
Di luar itu, tindakan ini juga dapat menimbulkan sanksi administratif dan etik: pencopotan dari jabatan struktural, penundaan karier, hingga pemutasian ke unit lain sebagai bentuk penertiban internal. Bila tidak ditangani secara tegas, keterlibatan semacam ini dapat mencoreng netralitas dan integritas TNI sebagai institusi pertahanan yang seharusnya menjaga jarak dari konflik sipil.
Adapun jika terdapat bukti berupa surat kuasa, dokumen advokasi, atau kehadiran dalam proses-proses hukum masyarakat sipil dengan mengatasnamakan jabatan militer, maka hal itu dapat dijadikan dasar untuk pengusutan internal dan pelaporan ke lembaga pengawas eksternal seperti Ombudsman RI, guna memastikan tidak ada penyalahgunaan kewenangan di balik seragam militer.
Penting untuk ditegaskan: apabila perwira militer hendak memberikan bantuan hukum kepada masyarakat sipil, maka harus ditempuh melalui jalur resmi—melalui lembaga bantuan hukum TNI, atau dilakukan setelah pensiun melalui profesi advokat yang sah. Tanpa dasar dan izin institusional, segala bentuk keterlibatan dalam sengketa sipil berpotensi melanggar hukum dan mencederai prinsip netralitas.
Pada akhirnya, publik berhak menuntut transparansi dan kejelasan: apakah keterlibatan tersebut merupakan bagian dari tugas resmi atau hanya inisiatif pribadi? Dan lebih jauh lagi, apakah institusi terkait memiliki mekanisme kontrol dan keberanian untuk menindak setiap bentuk penyimpangan, meski dilakukan oleh oknum berseragam? Karena dalam negara hukum, tidak ada yang kebal terhadap pertanggungjawaban—termasuk mereka yang bersumpah untuk menjaga keutuhan dan kehormatan negara.
(Asep Setiawan Yudha, reporter Jakarta Timur)