Pada tahun 2014, nama Joko Widodo—atau Jokowi—melambung sebagai simbol perubahan. Di tengah frustrasi publik terhadap elite politik lama yang sarat korupsi dan patronase, Jokowi datang sebagai “orang biasa” yang tak memiliki latar belakang militer, trah politik, atau koneksi konglomerasi besar. Ia datang dari Solo dengan senyum sederhana dan bahasa yang membumi.
Sebagian menyebutnya “negarawan rakyat” — pemimpin yang lahir dari arus bawah, yang diyakini akan meluruskan jalan demokrasi. Tapi kini, satu dekade kemudian, narasi itu bergeser drastis. Apakah Jokowi masih seorang negarawan? Atau telah berubah menjadi politikus preman: pemimpin yang memanfaatkan jabatan untuk memperkuat kuasa, bukan sistem?
Legitimasi Awal: Simbol Antitesis Elitisme
Jokowi adalah presiden pertama Indonesia yang lahir dari luar lingkaran elite nasional pascareformasi. Ia adalah produk politik rakyat, bukan produk kongres partai.
Kemenangannya melawan Prabowo Subianto tahun 2014 menjadi kemenangan simbolik: rakyat memilih sipil atas militer, transparansi atas otoritarianisme. Jokowi bukan hanya menang, ia diberi kepercayaan. Ia dianggap penyambung lidah rakyat.
Cawe-Cawe Politik 2024: Titik Balik yang Buruk
Namun, menjelang Pemilu 2024, publik mulai menyaksikan sisi lain dari kekuasaan Jokowi. Cawe-cawe-nya bukan lagi sekadar dugaan—tapi fakta politik.
Perubahan Aturan oleh Mahkamah Konstitusi
Keputusan Mahkamah Konstitusi yang memperlonggar batas usia calon presiden dan wakil presiden membuka jalan bagi putra sulung Jokowi, Gibran Rakabuming Raka, untuk maju dalam Pilpres 2024.
Yang membuatnya kontroversial bukan hanya isinya, tapi prosesnya:
- Ketua MK saat itu, Anwar Usman, adalah adik ipar Jokowi;
- Putusan itu keluar menjelang pendaftaran pasangan capres-cawapres;
- Tak ada mekanisme uji publik memadai, dan tak pernah dibahas dalam revisi UU Pemilu di DPR.
Putusan ini menjadi sinyal bahwa hukum bisa dibengkokkan demi kekuasaan keluarga.
Nepotisme dan Dinasti Politik
Setelah Gibran, muncul Bobby Nasution (menantu Jokowi) sebagai Wali Kota Medan. Lalu Kaesang Pangarep (putra bungsu) mendadak diangkat jadi Ketua Umum PSI hanya dalam hitungan hari setelah menjadi anggota partai.
Apakah ini hak politik warga negara? Ya. Tapi ketika akses kekuasaan dijamin bukan karena kapasitas, melainkan garis darah dan restu kekuasaan, demokrasi telah berubah menjadi politik dinasti yang dibungkus legalitas.
Kuasa yang Melemahkan Lembaga
Dalam masa dua periode Jokowi, publik menyaksikan pelemahan banyak institusi demokrasi:
- KPK direduksi melalui revisi UU dan pengangkatan pimpinan kontroversial (Firli Bahuri);
- Polri lebih dominan dibanding sebelumnya, bahkan menjadi alat politik dalam pemilu dan pengamanan opini publik;
- Bawaslu dan KPU dinilai tidak independen karena tak berani mengoreksi pelanggaran berat dalam proses Pilpres 2024.
Seorang negarawan memperkuat institusi. Seorang politikus preman menundukkan institusi untuk jaringannya.
Rezim Pencitraan dan Pembungkaman Kritik
Jokowi dibungkus narasi kerja-kerja konkret: infrastruktur, tol laut, IKN. Tapi kritik terhadap pencitraan tak bisa diabaikan:
- Media dikendalikan secara halus, kritik dibatasi, jurnalis dikriminalisasi.
- Pakar, akademisi, dan tokoh masyarakat sipil yang kritis pada kekuasaan dijauhi, bahkan dicap oposisi tak konstruktif.
- Pihak-pihak yang menyuarakan dugaan korupsi atau penyimpangan diserang buzzer bayaran, dibungkam, atau dimatikan secara digital.
Apakah ini watak seorang negarawan? Ataukah ini gaya kepemimpinan populis yang manipulatif dan koersif?
Penutup: Jejak Sejarah Akan Menentukan
Jokowi masih memiliki warisan pembangunan fisik yang dapat dibanggakan. Tapi itu tidak cukup untuk menutupi kerusakan institusional dan penurunan kualitas demokrasi selama dua periode pemerintahannya.
Citra “negarawan rakyat” yang dulu mengangkat namanya, kini ditarik paksa oleh logika kekuasaan yang lebih berpihak pada keluarga, loyalis, dan jaringan politik oportunistik.
Oleh: Bernard Simamora, S.Si., S.IP., S.H., M.H., M.M.