BANDUNG (21 Oktober 2025) — Sidang perkara Nomor: 777/Pid.Sus/2025/PN Blb yang menjerat oknum kepala sekolah di Ciparay, Kabupaten Bandung, kini menjadi sorotan nasional. Publik menanti dengan harap dan cemas putusan Majelis Hakim Pengadilan Negeri Bale Bandung yang dijadwalkan dibacakan pada Kamis, 23 Oktober 2025.
Dalam sidang sebelumnya, Jaksa Penuntut Umum (JPU) Ridhalillah, S.H. menuntut terdakwa MUHAMMAD SYA’DUDIN Bin H. ENGKOM KOMARUDIN (Alm) hanya tiga (3) bulan penjara dengan biaya perkara Rp 2.000,- (dua ribu rupiah).
Padahal, dalam surat tuntutannya, jaksa menyatakan terdakwa terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan kekerasan terhadap anak, sebagaimana diatur dalam:
Pasal 80 ayat (1) juncto Pasal 76C Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan atas UU Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.
“Setiap orang yang melakukan kekerasan terhadap anak dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun 6 (enam) bulan dan/atau denda paling banyak Rp72.000.000,-.”
Lebih jauh, sesuai dengan Pasal 80 ayat (4), pidana dapat diperberat sepertiga apabila pelaku adalah orang yang memiliki hubungan tanggung jawab terhadap anak, termasuk guru atau kepala sekolah tempat anak tersebut menimba ilmu.
Tuntutan Ringan, Luka yang Dalam
Usai sidang tuntutan, suasana di luar pengadilan berubah pilu.
Ny. Ida Yanti, ibu korban, meneteskan air mata di pelataran Pengadilan Negeri Bale Bandung.
“Anak saya trauma. Ia menjerit di malam hari, tak mau sekolah lagi. Tapi pelaku cuma dituntut tiga bulan? Itu bukan keadilan,” ujarnya dengan suara bergetar.
Warga Ciparay menilai tuntutan tersebut mencederai rasa keadilan masyarakat.
Sopian, tokoh masyarakat setempat, menyatakan:
“Kalau kepala sekolah bisa menampar murid dan tetap dianggap ringan, apa jadinya bangsa ini?”
Suara Tegas dari Praktisi Hukum
Menanggapi tuntutan jaksa dan menjelang putusan hakim, praktisi hukum dan akademisi
Bernard Simamora, S.Si., S.IP., S.H., M.H., M.M. memberikan pernyataan tegas:
“Jangan pengadilan justru menciptakan ketidakadilan. Membiarkan pelaku kekerasan terhadap anak melenggang bebas, atau hanya dihukum tiga bulan dan denda dua ribu rupiah, sama saja dengan menertawakan penderitaan korban.”
Bernard menegaskan bahwa hakim memiliki tanggung jawab moral di atas teks hukum:
“Hakim tidak boleh menjadi sekadar corong undang-undang. Ia harus menjadi corong keadilan. Bila hukum dijalankan tanpa nurani, palu hakim dapat berubah menjadi palu yang memukul rasa keadilan rakyat.”
Putusan yang Akan Menguji Nurani Hakim
Sidang pembacaan putusan pada Kamis, 23 Oktober 2025 akan menjadi ujian besar bagi Majelis Hakim Pengadilan Negeri Bale Bandung. Publik menunggu apakah pengadilan mampu mengembalikan kepercayaan rakyat terhadap hukum dan peradilan anak di Indonesia.
Ida Yanti berharap masih ada nurani di balik toga hakim:
“Kami masih percaya ada hakim yang berhati nurani. Jangan biarkan anak-anak menjadi korban dua kali — oleh pelaku, dan oleh sistem.”
Aktivis perlindungan anak menegaskan bahwa putusan ini akan menjadi cermin wajah peradilan Indonesia:
“Kalau hakim hanya mengikuti tuntutan jaksa tanpa mempertimbangkan keadilan substantif, maka publik akan kehilangan kepercayaan terhadap hukum.”
Ciparay Tidak Butuh Belas Kasihan — Ciparay Menuntut Keadilan
Kasus ini bukan sekadar perkara pidana, tetapi pertarungan antara hati nurani dan keberanian moral.
Ciparay tidak butuh belas kasihan — Ciparay menuntut keadilan.
Pada Kamis, 23 Oktober 2025, bangsa ini akan mengetahui:
apakah hukum di Bale Bandung masih punya hati, ataukah majelis hakim yang memutus perkara ini tinggal palu tanpa nurani.
Dasar Hukum Terkait:
- Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan atas UU Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.
Pasal 76C: Larangan kekerasan terhadap anak.
Pasal 80 ayat (1): Pidana penjara maksimal 3 tahun 6 bulan dan/atau denda maksimal Rp72 juta.
Pasal 80 ayat (4): Pidana dapat diperberat sepertiga bila pelaku adalah pengasuh, guru, atau pihak berwenang terhadap anak.
- Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) – Pasal 183: Putusan hakim harus berdasarkan keyakinan yang diperoleh dari alat bukti yang sah.
Sumber berita: Aswaja news
Editor: Dani

















