Beranda Investigasi Menolak Lupa: Pengusutan Mega Korupsi Pertamina yang Dilupakan Negara

Menolak Lupa: Pengusutan Mega Korupsi Pertamina yang Dilupakan Negara

22

Oleh Bernard Simamora, S.Si., S.IP., S.H., M.H., M.M.

Di tengah kegaduhan politik nasional dan hiruk-pikuk kampanye kekuasaan, satu skandal besar justru nyaris luput dari perhatian publik dan media: mega korupsi di tubuh PT Pertamina (Persero). Sebuah ironi besar, ketika lembaga negara terkesan bungkam terhadap kasus yang justru menempati posisi pertama dalam daftar kasus korupsi dengan kerugian negara terbesar dalam sejarah Indonesia.

Awalnya, Kejaksaan Agung pada tahun 2023 memperkirakan kerugian negara akibat skandal korupsi di Pertamina sebesar Rp193,7 triliun. Angka itu saja sudah sangat mengkhawatirkan. Namun, hasil pengembangan penyidikan pada 2025 memperlihatkan fakta yang jauh lebih mengerikan. Total kerugian negara kini ditaksir mencapai Rp968,5 triliun, menjadikan kasus ini sebagai skandal korupsi nomor satu paling merugikan negara sepanjang sejarah hukum Indonesia.

Skema korupsi ini diduga berlangsung sistemik sejak 2018 hingga 2023. Modusnya meliputi penggelembungan harga pembelian minyak mentah impor, manipulasi tender proyek kilang, pengoplosan BBM bersubsidi seperti Pertalite dengan BBM non-subsidi seperti Pertamax, dan penjualan kembali dengan harga premium. Aktivitas ilegal ini dijalankan oleh jaringan pejabat di bawah subholding Pertamina Patra Niaga dan Pertamina International Shipping, serta pihak swasta yang diduga menjadi makelar mafia migas lintas negara.

Puncak pengungkapan terjadi pada 25 Februari 2025, ketika Kejaksaan Agung menetapkan tujuh tersangka kunci, di antaranya:

  • Riva Siahaan, CEO Pertamina Patra Niaga
  • Yoki Firnandi, CEO Pertamina International Shipping
  • Sani Dinar Saifuddin, Direktur Kilang Pertamina Internasional
  • Muhammad Kerry Andrianto Riza, putra dari Riza Chalid—tokoh kontroversial dunia perminyakan
  • Dua komisaris perusahaan mitra yang turut diduga membantu pengaliran dana hasil korupsi.

Setelah penetapan tersangka, publik berharap akan ada pembongkaran besar-besaran terhadap sistem dan jaringan mafia energi yang telah menggerogoti Pertamina selama bertahun-tahun. Namun harapan itu cepat memudar. Dalam hitungan minggu, pemberitaan tentang skandal ini menghilang dari layar utama media nasional. Sorotan dialihkan ke panggung politik pemilu, debat capres, dan manuver dinasti kekuasaan.

Yang lebih ironis, tokoh-tokoh besar yang pernah memimpin Pertamina, seperti Nicke Widyawati (mantan Direktur Utama) dan Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok (mantan Komisaris Utama), hanya diperiksa sebagai saksi tanpa kejelasan arah penanganan. Padahal merekalah yang berada di pucuk pimpinan ketika skema korupsi ini diduga berlangsung.

Kejaksaan Agung bahkan memperluas penyidikan dengan bekerja sama dengan CPIB Singapura, karena ada dugaan aliran dana korupsi ini melewati perusahaan perdagangan minyak berbasis luar negeri. Sayangnya, tidak ada keterlibatan KPK dalam pengusutan kasus ini, mempertegas kekhawatiran masyarakat sipil bahwa pemberantasan korupsi di sektor energi telah dikerdilkan secara sistemik.

Yang perlu diingat, skandal ini bukan sekadar hitungan angka dalam laporan hukum. Ia punya dampak langsung terhadap rakyat Indonesia. Skandal ini memperparah defisit energi nasional, menaikkan harga BBM secara tidak wajar, dan mengorbankan keselamatan rakyat melalui berbagai insiden fatal: dari ledakan kilang Balikpapan, Dumai, Cilacap, hingga tenggelamnya kapal tanker Sri Asih. Korban jiwa terjadi, namun seperti biasa: nihil tanggung jawab struktural.

Sementara itu, total nilai proyek pengadaan kilang dan infrastruktur yang tersangkut dugaan mark-up—seperti RDMP Balikpapan, GRR Tuban, dan proyek LNG—mencapai lebih dari Rp 250 triliun, sebagian besar dibiayai dari pinjaman luar negeri dan dana publik.

Lalu, di mana pengawasan publik dan peran media? Sayangnya, sebagian besar media arus utama justru tidak menjadikan ini sebagai prioritas liputan. Skandal sebesar ini dikalahkan oleh isu-isu yang lebih ringan, lebih “menghibur”, dan lebih politis. Di sinilah publik harus kembali menyadari pentingnya bersuara: “Menolak lupa” bukan hanya tentang mengingat, tapi juga tentang menolak pembungkaman.

Menolak lupa berarti:

  • Menagih pertanggungjawaban negara atas kerugian hampir seribu triliun rupiah.
  • Menuntut transparansi penuh atas proyek-proyek strategis nasional di sektor energi.
  • Mendesak KPK, BPK, dan lembaga hukum lainnya untuk tidak menjadi penonton.
  • Memastikan reformasi struktural di tubuh BUMN Pertamina berjalan sungguh-sungguh, bukan sekadar kosmetik.

Mega korupsi di Pertamina adalah pengkhianatan atas konstitusi dan amanat rakyat. Dan ketika negara memilih bungkam, publik harus memilih untuk ingat. Karena pertanyaan sebenarnya bukan lagi “siapa mencuri”, tetapi “siapa yang melindungi pencuri?”