Beranda Nasional Politik & Kebijakan Menyoal Secara Kritis dan Argumentatif Alasan Pemakzulan Gibran (Bagian 2)

Menyoal Secara Kritis dan Argumentatif Alasan Pemakzulan Gibran (Bagian 2)

23

Cawe-Cawe Presiden – Ketika Jokowi Melampaui Garis Netralitas dan Menyesatkan Makna Konstitusi

Bandung, DetikHukum Dalam sistem demokrasi konstitusional, presiden bukan hanya pemegang kekuasaan eksekutif tertinggi, tetapi juga simbol moral negara yang seharusnya menjaga jarak dari kepentingan politik praktis, apalagi dalam konteks suksesi kekuasaan. Namun dalam Pemilu 2024, prinsip itu nyaris tidak tersisa. Presiden Joko Widodo secara terang-terangan menyatakan akan “cawe-cawe demi bangsa dan negara,” sembari secara aktif mengarahkan arus politik demi pencalonan dan pemenangan putranya, Gibran Rakabuming Raka, sebagai wakil presiden.

Tindakan cawe-cawe ini bukan sekadar pelanggaran etika jabatan, melainkan juga diduga melanggar norma-norma hukum positif. Presiden tidak hanya menunjukkan keberpihakan, tetapi juga terlibat dalam rekayasa koalisi, mendorong figur tertentu, dan melemahkan potensi pesaing anaknya melalui berbagai kanal kekuasaan. Yang lebih serius, Jokowi secara terbuka membela tindakannya dengan menyatakan bahwa tidak ada larangan hukum yang dilanggarnya, selama ia tidak menggunakan “fasilitas negara.”

Pernyataan itu adalah bentuk penyesatan hukum secara terbuka, sebab norma netralitas pejabat negara diatur secara jelas dalam:

  • Pasal 282 dan 283 UU No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilu, yang melarang pejabat negara melakukan tindakan yang menguntungkan peserta pemilu tertentu, bahkan sebelum dan sesudah masa kampanye.
  • Pasal 9 ayat (2) UU No. 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan, yang menyatakan pejabat dilarang menyalahgunakan wewenang untuk kepentingan pribadi atau kelompok.
  • TAP MPR No. VI/MPR/2001 tentang Etika Kehidupan Berbangsa, yang menuntut pejabat publik menjaga moralitas dan keadaban politik.

Dengan menafsirkan bahwa “tidak menggunakan mobil dinas” berarti tidak melanggar hukum, Jokowi secara sadar menyederhanakan dan memelintir makna netralitas pejabat negara. Ia tidak salah secara literal, tapi keliru secara substansial dan menyesatkan secara konstitusional. Presiden bukan sekadar tidak netral—ia aktif menyusun strategi dinasti dengan kedok legalitas semu.

Lebih jauh, Jokowi tahu bahwa jabatan presiden itu sendiri adalah fasilitas kekuasaan tertinggi. Ketika ia menggunakan pengaruh politiknya untuk mengatur koalisi, menyetir figur capres-cawapres, dan mengondisikan arah kekuasaan demi anak kandungnya, maka sejatinya ia telah menggunakan seluruh sumber daya struktural negara—bukan secara administratif, tetapi secara strategis—untuk melanggengkan kekuasaan pribadi.

Ini bukan lagi sekadar persoalan etika, tapi soal pengkhianatan terhadap semangat konstitusi. Presiden boleh punya preferensi politik sebagai warga negara, tetapi tidak boleh menggunakan kekuasaan jabatannya untuk membentuk arah politik nasional demi keluarga sendiri. Dalam konteks ini, “cawe-cawe” tidak bisa dipisahkan dari istilah yang lebih jujur secara politik: intervensi kekuasaan.

Lebih parah, lembaga-lembaga negara lain seperti DPR, KPU, dan Bawaslu tampak membiarkan tindakan ini berlangsung tanpa koreksi. Demokrasi Indonesia dalam Pemilu 2024 pun kehilangan pelindung institusionalnya, dan terjerumus ke dalam jebakan oligarki elektoral yang dikemas dalam wacana “stabilitas politik.”

Maka, ketika publik menggugat legitimasi Gibran, yang harus dilihat bukan hanya proses formal pencalonannya, tetapi struktur kekuasaan cacat yang melahirkannya. Gibran adalah produk dari proses politik yang didesain oleh seorang ayah yang tidak lagi berdiri sebagai negarawan, melainkan sebagai aktor utama politik dinasti.

Pemakzulan bukan sekadar pertanyaan tentang Gibran, melainkan tentang keberanian kita mengoreksi kerusakan tatanan hukum dan etika publik yang ditinggalkan oleh cawe-cawe seorang presiden. Jika kita diam, maka kita membuka jalan bagi generasi berikutnya untuk menganggap bahwa warisan kekuasaan adalah hal yang lumrah dalam republik yang katanya berdasarkan hukum.

Kini, pertanyaannya bukan lagi “apa yang dilanggar?” melainkan “maukah kita bertindak untuk menyelamatkan konstitusi sebelum kekuasaan menjadikannya alat warisan?”

Bandung, 6 Juni 2025
Oleh : Bernard Simamora, S.Si., S.IP., S.H., M.H., M.M.; Advokat & Konsultan Hukum, Pemerhati Hukum dan Politik, pelaku Wirausaha UKM dan Pegiat Pendidikan.