
Politik Pembiaran – Ladang Dosa sebagai Tabungan Kekuasaa

Jika kita menelusuri cara kekuasaan dijalankan di era Presiden Joko Widodo, akan tampak satu pola yang konsisten namun berbahaya: pembiaran sistemik terhadap penyimpangan, pelanggaran hukum, dan kejahatan anggaran, bukan karena ketidaktahuan, tapi sebagai bagian dari strategi politik. Inilah yang kita sebut politik pembiaran—sebuah taktik kekuasaan yang tidak hanya membiarkan dosa-dosa elite mengendap, tetapi menjadikannya tabungan politik untuk digunakan sebagai alat tawar-menawar, sandera, atau senjata tekanan ketika kepatuhan mereka diuji.
Di tangan Jokowi, negara tidak lagi dijalankan untuk pelayanan publik, melainkan untuk manajemen kompromi kekuasaan. Para pejabat, pengusaha, dan elite politik yang memiliki rekam jejak pelanggaran tidak dibersihkan dari sistem. Mereka justru dibiarkan aktif, karena rekam jejak itulah yang membuat mereka bisa dikendalikan. Semakin banyak dosanya, semakin lunak ia terhadap tekanan politik. Maka saat penguatan dinasti kekuasaan Jokowi berlangsung, seluruh sumber daya pembiaran ini dimobilisasi untuk satu tujuan: memuluskan pencalonan dan kemenangan Gibran Rakabuming Raka.
Contoh 1: Skandal Pertamina – Uang Menguap, Negara Diam
Dugaan kerugian negara hampir Rp 1.000 triliun di tubuh Pertamina merupakan salah satu skandal paling telanjang tentang bagaimana negara membiarkan kerugian besar terjadi tanpa penegakan hukum yang serius.
- Kasus LNG Pertamina menunjukkan pengadaan gas dari AS tanpa kajian menyeluruh, yang berujung pada kerugian Rp 1,77 triliun.
- Tata kelola pembelian minyak mentah dan BBM diduga menyebabkan kerugian Rp 193,7 triliun hanya pada 2023, karena pembelian Pertalite (RON 90) dengan harga Pertamax (RON 92).
Jika pola ini berlangsung sejak 2018, akumulasi kerugian mendekati Rp 1.000 triliun. Namun hingga kini, sebagian besar petinggi Pertamina, pengambil keputusan, dan pihak-pihak yang paling bertanggung jawab tidak pernah diproses secara hukum secara utuh. Mengapa? Karena banyak dari mereka adalah bagian dari jaringan kekuasaan dan bisnis yang tidak boleh disentuh. Pembiaran adalah strategi.
Contoh 2: Ekspor Nikel – Sumber Daya Dijarah Tanpa Transparansi
Sejak 2021, ekspor nikel olahan Indonesia meningkat tajam. Pemerintah menyatakan ini keberhasilan hilirisasi. Tapi di balik retorika itu, tersingkap ketidakjelasan luar biasa dalam pengelolaan keuntungan:
- Kendali produksi dan ekspor sebagian besar berada di tangan perusahaan asing, terutama dari China, dan kroni bisnis dalam negeri.
- Tidak ada transparansi menyeluruh atas penerimaan pajak ekspor, PNBP, dan dividen BUMN tambang.
- Sementara itu, kerusakan lingkungan, konflik agraria, dan ketimpangan ekonomi di daerah tambang justru meningkat.
Yang paling parah: negara tahu, tetapi diam. Pemerintah tidak membongkar atau mengatur ulang tata kelola ekspor ini karena proyek nikel—seperti proyek lainnya—sudah menjadi bagian dari kompromi ekonomi-politis yang mendukung kelangsungan kekuasaan.
Contoh 3: Subsidi Mobil Listrik China – APBN untuk Kapital Asing
Pemerintah menggelontorkan subsidi PPN hingga nol persen dan potongan harga hingga Rp 70 juta/unit untuk pembelian mobil listrik. Namun mayoritas yang menerima manfaat adalah perusahaan asal China seperti Wuling dan BYD—yang hanya melakukan perakitan lokal tanpa transfer teknologi yang berarti.
- Tidak ada keberpihakan pada produsen lokal atau pengembangan industri nasional.
- Masyarakat kelas bawah tidak terjangkau oleh program ini.
- Pemerintah menggunakan APBN untuk menyubsidi perusahaan asing, dalam situasi defisit fiskal dan beban utang yang berat.
Mengapa ini dibiarkan? Karena proyek kendaraan listrik telah menjadi bagian dari narasi besar kekuasaan dan sekaligus arena pengaruh investasi asing yang sensitif secara politik. Tidak ada yang berani menghentikannya karena proyek ini terikat langsung pada pencitraan pemerintah dan komitmen diam-diam terhadap kekuatan ekonomi luar.
Contoh 4: Kereta Cepat Jakarta–Bandung – Dari Janji Nol APBN ke Pembengkakan Triliunan
Kereta Cepat Jakarta–Bandung (KCJB) awalnya dijanjikan tanpa dana APBN. Tapi kenyataannya:
- Biaya proyek membengkak dari Rp 66,7 triliun menjadi lebih dari Rp 114 triliun.
- Pemerintah mengalirkan dana APBN melalui Penyertaan Modal Negara (PMN) senilai Rp 4,3 triliun.
- Risiko utang ditanggung PT KAI dan BUMN, yang berarti akhirnya dibayar juga oleh rakyat.
Tidak ada investigasi ulang. Tidak ada audit independen. Karena proyek ini terlalu politis untuk gagal. Ia adalah simbol proyek prestisius Jokowi, dan karenanya harus tetap terlihat “berhasil”—apa pun harganya.
Dari Pembiaran ke Pengkhianatan Demokrasi
Dari Pertamina hingga KCJB, dari nikel hingga mobil listrik, semua menunjukkan pola yang konsisten:
- Pelanggaran hukum tidak ditindak jika pelakunya bagian dari koalisi kekuasaan.
- Negara membiarkan kerugian besar dan transaksi tidak transparan demi menjaga stabilitas politik elite.
- Hukum digunakan selektif: untuk menekan lawan politik, bukan menegakkan keadilan.
- Semua ini dilakukan demi satu proyek besar: melanggengkan dinasti kekuasaan.
Pembiaran bukan kelemahan—tapi instrumen kendali.
Kepada Rakyat dan Parlemen: Ini Adalah Seruan Bangkit
Jika negara dikelola dengan dasar kompromi, dosa, dan pembiaran, maka kekuasaan yang lahir dari sistem itu pun harus dianggap tidak sah secara moral.
Gibran Rakabuming Raka bukan sekadar putra presiden. Ia adalah hasil dari struktur kekuasaan yang penuh kompromi, pembiaran, dan perlindungan atas penyimpangan.
Maka wacana pemakzulan terhadapnya bukan urusan pribadi. Ini adalah bentuk perlawanan terhadap pembusukan sistemik yang mengorbankan rakyat demi dinasti dan oligarki.
Penutup
Politik pembiaran adalah ladang dosa yang dikelola sebagai aset kekuasaan. Ketika dosa disimpan, bukan dibersihkan—maka negara menjadi alat pemerasan, bukan alat pelayanan.
Inilah yang sedang terjadi. Dan satu-satunya cara memulihkannya adalah dengan menyuarakan hak rakyat: memakzulkan mereka yang naik melalui kompromi dosa.
Bandung, 6 Juni 2025
Oleh : Bernard Simamora, S.Si., S.IP., S.H., M.H., M.M.; Advokat & Konsultan Hukum, Pemerhati Hukum dan Politik, pelaku Wirausaha UKM dan Pegiat Pendidikan.