
Saatnya Bertanya – Beranikah Kita Memakzulkan Gibran?
Di hadapan fakta telanjang tentang kerusakan sistemik demokrasi, kompromi kekuasaan yang melampaui batas etika, serta proses politik yang menodai martabat konstitusi, kini tiba saatnya bagi kita—rakyat dan lembaga negara—untuk bertanya dengan jujur: beranikah kita memakzulkan seorang wakil presiden yang lahir dari pelanggaran hukum, etika, dan akal sehat publik?

Pertanyaan ini bukan soal membenci pribadi Gibran Rakabuming Raka. Bukan pula soal oposisi politik yang tidak legowo atas hasil pilpres. Ini soal keabsahan demokrasi, moralitas hukum, dan keutuhan konstitusi. Sebab, dari awal, keterpilihan Gibran bukan lahir dari proses demokrasi yang jujur dan adil, tetapi dari rekayasa hukum oleh Mahkamah Konstitusi yang secara terang telah dinyatakan melanggar etik berat.
Demokrasi Disandera, Konstitusi Dilecehkan
Putusan MK No. 90/PUU-XXI/2023—yang membuka jalan bagi Gibran untuk maju sebagai cawapres—tidak lahir dari kajian hukum yang objektif, melainkan dari intervensi kekuasaan yang sangat nyata. Ketua MK saat itu, yang juga paman Gibran, terbukti melakukan pelanggaran etik berat. Namun alih-alih dibatalkan, putusan itu tetap dijalankan. Demokrasi dilanjutkan dengan fondasi cacat. Konstitusi diinjak oleh keluarga sendiri, dan elite politik membiarkannya demi kenyamanan posisi.
Cawe-cawe Presiden Jokowi dalam pemilu tidak lagi sekadar “turut campur,” tapi telah menjadi operasi sistematis kekuasaan: menekan pimpinan partai, membagi bansos sebagai suap elektoral, mengerahkan sprindik kepada tokoh-tokoh politik yang dianggap ancaman bagi pencalonan anaknya. Dalam skema ini, hukum bukan lagi alat keadilan, tetapi alat untuk menaklukkan atau melindungi, tergantung kepada siapa loyalitas diberikan.
Pemakzulan Bukan Kudeta, Tapi Kewajiban Konstitusional
Kita sering dibuat takut oleh kata “pemakzulan,” seolah itu tindakan radikal yang akan menghancurkan negara. Padahal, pemakzulan adalah alat konstitusi yang sah untuk memperbaiki jalannya pemerintahan. Pasal 7A dan 7B UUD 1945 menyebut dengan tegas bahwa Presiden dan Wakil Presiden dapat diberhentikan jika terbukti melakukan pengkhianatan, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela.
Dan dalam konteks Gibran, perbuatan tercela itu bukan hanya dilakukan oleh dirinya, tapi melekat erat pada proses kelahirannya sebagai cawapres—sebuah proses yang sarat pelanggaran etik, moral, dan prinsip pemilu yang adil. Jika Mahkamah Konstitusi telah dinyatakan cacat, dan keputusan yang lahir darinya tetap dijalankan, maka keterpilihannya tidak lebih dari hasil pengkhianatan hukum.
Tidak Bertindak Adalah Pengkhianatan
Kita tidak bisa selamanya bersembunyi di balik dalih “sudah selesai pemilu.” Demokrasi tidak diukur dari selesai-tidaknya prosedur, tetapi dari keabsahan moral dan keadilan substantif yang menyertainya. Jika prosesnya rusak, maka hasilnya layak digugat. Jika hasilnya membahayakan tatanan republik, maka harus ditindak.
Jika DPR dan MPR hanya diam menyaksikan semua ini, maka mereka bukan lagi wakil rakyat, melainkan agen kekuasaan yang lupa pada amanat konstitusi. Justru karena sudah dilantik, maka saat inilah pemakzulan harus dibicarakan secara terbuka. Karena jika proses busuk dibenarkan dengan hasil formal, maka kita sedang mewariskan demokrasi yang cacat permanen.
Jangan Takut: Pemakzulan Itu Demi Demokrasi, Bukan Melawan Negara
Demokrasi yang sehat justru memberi ruang koreksi terhadap penyimpangan. Pemakzulan bukan revolusi. Ia adalah operasi perbaikan institusional. Ia bukan penghinaan terhadap negara, tapi penolakan terhadap kekuasaan yang melanggar konstitusi.
Yang seharusnya kita takutkan bukan proses pemakzulan, melainkan diamnya institusi ketika kecurangan dilegitimasi, dan rakyat dipaksa menerima hasil yang dilahirkan dari pelanggaran.
Jika Gibran tetap dibiarkan memimpin sebagai wakil presiden tanpa pertanggungjawaban moral atas proses yang membawanya ke sana, maka preseden telah ditetapkan: siapa pun bisa merekayasa hukum asal punya kekuasaan. Dan itu adalah tanda matinya republik.
Saatnya Bangkit: Rakyat dan Parlemen Harus Bicara
Inilah saatnya rakyat bertanya, dan wakil rakyat menjawab. Apakah mereka masih punya keberanian moral untuk bertindak bukan demi koalisi, bukan demi jatah kursi kabinet, tetapi demi harga diri bangsa dan integritas sistem kenegaraan?
Apakah MPR dan DPR akan selamanya menjadi lembaga yang hanya berani bersuara ketika diminta bertepuk tangan oleh presiden? Ataukah mereka akan menunjukkan bahwa mereka bukan sekadar stempel, tapi pilar konstitusi?
Penutup: Pemakzulan adalah Tes Moral Bangsa
Pemakzulan bukan soal menjatuhkan anak presiden. Pemakzulan adalah soal menyelamatkan demokrasi dari kehancuran permanen. Jika bukan sekarang, kapan lagi?
Demokrasi tidak boleh dibiarkan dikendalikan oleh segelintir elite dengan memanipulasi hukum dan memobilisasi negara. Jika pemakzulan Gibran tidak pernah dibicarakan bahkan dalam kondisi seburuk ini, maka sesungguhnya bangsa ini telah menyerah pada politik keluarga.
Dan kita, sebagai rakyat, harus bertanya: “Apakah kita masih layak menyebut diri sebagai republik?”
Bandung, 6 Juni 2025
Oleh : Bernard Simamora, S.Si., S.IP., S.H., M.H., M.M.; Advokat & Konsultan Hukum, Pemerhati Hukum dan Politik, pelaku Wirausaha UKM dan Pegiat Pendidikan.