Bandung, DetikHukum | Salah satu tantangan besar dalam sistem pertanahan Indonesia adalah maraknya mafia tanah yang memanfaatkan kelengahan pemilik sah, kelemahan sistem administratif, serta lemahnya pengawasan dalam penerbitan sertifikat. Dalam praktik terkini, terdapat skema yang semakin sering digunakan oleh jaringan mafia tanah: menguasai tanah terlantar, membangun bangunan kecil untuk legalisasi fisik, menjaminkannya ke bank, dan kemudian mempailitkan diri guna mencuci jejak kejahatan.
Modus ini bukan sekadar sengketa hak milik biasa, melainkan kejahatan terstruktur yang melibatkan aktor-aktor pada berbagai tingkat, termasuk oknum perangkat desa, PPAT, bank, dan bahkan lembaga peradilan.
Skema Operasi: Langkah Demi Langkah
1. Identifikasi Tanah Terlantar. Pelaku menyasar tanah milik perorangan atau keluarga yang sudah lama tidak dikelola. Umumnya, tanah ini tidak berpagar, tidak dipasangi plang, dan tidak diurus oleh ahli warisnya.
2. Pembuatan Dokumen Palsu. Langkah berikutnya adalah menyusun dokumen palsu atau manipulatif, antara lain: Surat Keterangan Ahli Waris (SKAW) tanpa dasar hukum, Sporadik atau surat penguasaan fisik sepihak, Surat jual beli palsu di bawah tangan
Bersama oknum, dokumen ini diajukan ke kantor pertanahan untuk mendapatkan Sertifikat Hak Milik (SHM) atau Hak Guna Bangunan (HGB).
3. Pendirian Bangunan Fiktif. Pelaku membangun struktur fisik sederhana—biasanya warung kosong atau bangunan tak berpenghuni. Tujuannya adalah untuk memberi kesan penguasaan atas objek tanah, yang kemudian difoto dan dilampirkan sebagai “bukti penguasaan” dalam permohonan kredit.
4. Pengajuan Kredit dan Permohonan Pailit. Dengan dokumen dan bangunan tersebut, pelaku mengajukan kredit ke lembaga keuangan. Setelah dana cair, pelaku menghentikan cicilan dalam waktu singkat. Sebagai jalan keluar, pelaku atau entitas atas nama debitur mengajukan permohonan pailit ke Pengadilan Niaga. Kurator pun mengambil alih, dan objek tanah dijual melalui proses lelang. Tanah akhirnya jatuh ke pihak ketiga (yang bisa jadi masih bagian dari jaringan pelaku), dan status hukum baru terbentuk.
Analisis Hukum: Legal Formal vs Legal Substansial
Dalam teori hukum, sertifikat tanah memiliki asas publisitas dan itikad baik. Namun, apabila sertifikat diperoleh melalui pemalsuan, maka status hukumnya cacat secara substansial, meski tampak sah secara formal.
Pasal 263 KUHP menyebutkan bahwa pemalsuan surat merupakan tindak pidana. Selain itu, penggunaan sertifikat palsu sebagai agunan dapat masuk ke dalam kategori penipuan (Pasal 378 KUHP) dan pelanggaran terhadap UU Perbankan (UU No. 10 Tahun 1998).
Lebih parah lagi, permohonan pailit dengan maksud membebaskan diri dari utang akibat skema kejahatan ini dapat dikualifikasikan sebagai pailit dengan itikad buruk, sebagaimana diatur dalam UU No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan.
Dampak Sosial dan Ekonomi
Modus mafia tanah semacam ini berdampak luas:
• Kepada pemilik sah, mereka kehilangan hak atas tanah warisan yang telah lama dimiliki secara turun-temurun.
• Kepada lembaga keuangan, mereka menghadapi kredit macet berbasis jaminan yang tidak sah.
• Kepada negara, sistem hukum pertanahan dilecehkan oleh manipulasi administratif, menggerus kepercayaan publik.
“Hukum tanpa keadilan adalah kekerasan yang disahkan negara.” — Montesquieu
Rekomendasi Kebijakan Publik
1. Digitalisasi dan Registrasi Wajib Surat Waris. Setiap SKAW harus tervalidasi oleh pengadilan dan masuk ke dalam basis data nasional pertanahan.
2. Audit dan Peninjauan Sertifikat Atas Tanah Tidur. BPN perlu mengaudit ulang penerbitan SHM/HGB yang berasal dari tanah terlantar tanpa sejarah transaksi yang jelas.
3. Reformasi Prosedur Kredit Berbasis Agunan Tanah. Bank diwajibkan menelusuri asal-usul dan riwayat hak tanah secara material, bukan sekadar administratif.
4. Pengetatan Proses Kepailitan. Pengadilan Niaga perlu memperketat pengawasan terhadap permohonan pailit yang diajukan dalam jangka waktu mencurigakan setelah pemberian kredit.
Modus mafia tanah seperti ini memperlihatkan bahwa legalitas formal tidak selalu menjamin keabsahan hukum. Dalam konteks agraria, pemalsuan yang dibungkus rapi dengan stempel dan dokumen sering kali lebih berbahaya daripada penyerobotan terang-terangan.
“Tanah bisa diam, tapi dokumen bisa bicara. Maka waspadalah terhadap dokumen yang lahir dari kebohongan.”
Oleh karena itu, pemerintah, lembaga peradilan, dan masyarakat sipil perlu bersinergi membongkar kejahatan ini. Tanpa itu, bukan hanya tanah yang akan hilang, tapi juga keadilan.
“Fiat justitia ruat caelum – Sekalipun langit runtuh, keadilan harus ditegakkan.”
Oleh: Bernard Simamora, S.Si., S.IP., S.H., M.H., M.M.
Advokat & Konsultan Hukum Perdata Pertanahan
Kantor Hukum Bernard Simamora & Rekan