
Sumber, DetikHukum | Pengadilan Negeri Sumber, Kabupaten Cirebon, hari ini (4/6/2025) menggelar sidang perdana perkara Perlawanan terhadap Lelang Eksekusi yang diajukan oleh Sampe Banjarnahor, warga Komplek Lobunta, Kecamatan Mundu.
Perkara ini terdaftar dengan Nomor 35/Pdt.Bth/2025/PN Sbr, dan berfokus pada keberatan terhadap pelaksanaan lelang atas rumah tinggal yang diklaim sebagai harta bersama (gono-gini), yang status hukumnya masih disengketakan dalam proses perceraian tingkat kasasi di Mahkamah Agung.
Majelis Hakim yang memeriksa perkara ini dipimpin oleh Hakim Ketua Dony Riva Dwi Putra, S.H., M.H., dengan anggota Eka Desi Prasetia, S.H. dan Ranum Fatimah Florida, S.H., serta Esron Partogi, S.H. sebagai Panitera Pengganti.
Sampe Banjarnahor dalam perkara ini diwakili oleh dua kuasa hukum dari Kantor Hukum Bernard Simamora dan Rekan (BSDR), yakni Banelaus Naipospos, S.H., M.H. dan Bernard Simamora, S.Si., S.IP., S.H., M.H., yang berkantor di Bandung.
Gugatan diajukan terhadap tiga orang Terlawan, yakni Rianti Martalina Harianja, Frida Marpaung, dan Herlina Purba, serta terhadap Kantor Pelayanan Kekayaan Negara dan Lelang (KPKNL) Cirebon sebagai Turut Terlawan.
Dalam pokok gugatannya, kuasa hukum menjelaskan bahwa pelaksanaan lelang yang dijadwalkan oleh KPKNL Cirebon pada 22 Mei 2025 adalah tindakan yang patut dipertanyakan secara hukum. Sebab, objek lelang berupa rumah tinggal atas nama Herlina Purba masih harta bersama antara Sampe Banjarnahor dan Herlina Purba (Terlawan III), sementara perkara perceraian mereka belum diputus secara inkracht, sehingga status hak atas rumah tersebut dinilai belum jelas secara hukum.
Sampe Banjarnahor juga menyatakan bahwa ia tidak pernah menyetujui ataupun mengetahui perjanjian utang piutang antara istrinya dan Terlawan I maupun II. Namun demikian, berdasarkan putusan perkara sebelumnya, ia tetap dibebani untuk membayar utang pokok beserta keuntungan, padahal dirinya tidak ikut menikmati manfaat dari transaksi tersebut.
“Dari sudut hukum keperdataan, suami tidak secara otomatis bertanggung jawab atas utang pribadi istri tanpa persetujuan atau pemberian kuasa. Itu dasar argumentasi kami,” jelas Banelaus Naipospos, S.H., M.H., usai persidangan.
“Kami menegaskan bahwa klien kami tidak pernah menandatangani atau memberikan kuasa dalam perikatan utang tersebut. Tidak adil apabila beban hukum dilimpahkan kepada seseorang yang secara hukum maupun fakta tidak pernah terlibat,” kata Bernard Simamora, S.Si., S.IP., S.H., M.H.
Dalam petitumnya, pihak Sampe Banjarnahor meminta agar pengadilan menyatakan pelaksanaan lelang tersebut tidak sah, atau paling tidak ditunda hingga ada putusan berkekuatan hukum tetap dalam perkara perceraian. Ia juga memohon agar pengadilan menetapkan bahwa rumah tersebut adalah harta bersama yang belum dibagi secara hukum, serta menegaskan bahwa dirinya tidak bertanggung jawab atas utang yang dilakukan tanpa sepengetahuannya.
Gugatan tersebut merujuk pada Pasal 1320 dan 1340 KUH Perdata, serta Yurisprudensi Mahkamah Agung Nomor 2691K/Pdt/1996, yang pada pokoknya menyatakan bahwa tindakan terhadap harta bersama memerlukan persetujuan kedua belah pihak.
Dalam persidangan, Majelis Hakim menyatakan bahwa karena Terlawan III, Herlina Purba, tidak diketahui keberadaannya, maka pengadilan akan melakukan panggilan terbuka melalui media massa sesuai ketentuan hukum acara. Sidang lanjutan dijadwalkan pada Kamis, 3 Juli 2025 guna memberikan cukup waktu bagi proses pemanggilan tersebut.
Sebelumnya, Sampe Banjarnahor selaku Tergugat II dalam Perkara Nomor 49/Pdt.G/2020/PN.Sbr telah dinyatakan melakukan perbuatan melawan hukum, padahal ia tidak pernah mengetahui atau dilibatkan dalam adanya utang piutang antara Herlina Purba dan Rianti Martalina Harianja maupun Frida Marpaung. Putusan tersebut menjadi dasar pelaksanaan eksekusi yang kini digugat melalui mekanisme perlawanan.
Menutup keterangannya, pihak kuasa hukum menyampaikan bahwa perkara ini bukan semata persoalan utang atau aset, melainkan menyangkut perlindungan hak hukum dalam relasi perkawinan, serta mendorong praktik lelang eksekusi yang lebih akuntabel dan berbasis kepastian hukum.
“Kami percaya bahwa ruang pengadilan adalah tempat terbaik untuk menegakkan kebenaran hukum yang proporsional,” pungkas Bernard Simamora.
Reporter: tim PelitaIndoNews